Dapatkah Bahasa Gaul Gen Alpha Merusak Bahasa Indonesia? Ini Penjelasan Pakar
SEKITARSURABAYA.COM, SURABAYA -- Guru besar bidang ilmu etnolinguistik Universitas Airlangga (Unair) Prof Ni Wayan Sartini menyoroti fenomena munculnya bahasa gaul yang banyak digunakan generasi alpha dalam berkomunikasi. Kosakata baru yang biasa digunakan seperti mewing, rizz, sigma, dan skibidi.
Prof Wayan mengatakan, bahasa gaul gen alpha tidak muncul tak lepas dari pengaruh media sosial dan teknologi. Tumbuh dalam ekosistem digital membuat generasi alpha terbiasa dengan pemakaian kosakata unik tersebut.
"Sebenarnya, cikal bakal tersebut adalah dari bahasa gaul kemudian berkembang sampai kepada generasi Z dan gen alpha," kata Wayan, Rabu (11/12/2024).
Wayan menyebut, perkembangan masyarakat yang kian kompleks juga menjadi pemicu dari perubahan model komunikasi ini. Gen alpha cenderung terhubung satu sama lain karena pengaruh interaksi dalam berbagai platform.
"Mereka yang sedang mencari jati diri, punya cara berkomunikasi khas lewat kata-kata baru, emoji, emoticon, sebagai kemudahan-kemudahan pengucapan dari bahasa aslinya, sehingga itu mempercepat komunikasi," ujar Wayan.
Wayan juga menyoroti penggunaan istilah populer, seperti mewing yang merujuk pada teknik memperbaiki bentuk wajah dan rizz yang merupakan kependekan dari karisma.
Kosakata tersebut baginya menunjukkan sisi kreativitas gen alpha. Ia menyebut bahwa fenomena ini adalah bagian dari inovasi bahasa yang lahir dari komunitas tersebut.
Wayan menambahkan, bahasa gen alpha hanya bersifat temporer. Menurutnya, penggunaan bahasa gaul tersebut sah-sah saja untuk digunakan dalam komunikasi mereka sesuai dengan usianya.
"Namun, seperti bahasa gaul sebelumnya, bahasa gen alpha kemungkinan akan hilang seiring mereka beranjak dewasa, kemudian menghadapi konteks kehidupan berbeda ataupun semakin sedikit penuturnya," ucapnya.
Wayan menjelaskan, bahasa dan budaya selalu berjalan seiring dan sesuai konteks zamannya. Bahasa gen alpha adalah identitas sosial mereka. Tidak ada pengaruh negatif terhadap budaya, selama penggunaan bahasa ini masih dalam ranah informal.
Wayan juga mengingatkan, penggunaan bahasa harus sesuai dengan konteks, baik formal maupun informal.
"Tidak akan merusak bahasa Indonesia selagi penggunaan itu hanya dalam konteks komunikasi mereka. Tapi jangan sampai merembes ke dalam ranah formal. Maka perlu penyesuaian kepada siapa dan kapan kita berbicara," kata dia.