Pakar Sosiologi Pendidikan Unair Tegas Tolak Wacana Pengembalian UN
SEKITARSURABAYA.COM, SURABAYA -- Kemendikdasmen Abdul Mu’ti berencana mengadakan kembali ujian nasional (UN). Rencananya UN akan menggunakan sistem evaluasi baru yang berbeda dengan UN sebelumnya.
Pakar sosiologi pendidikan Universitas Airlangga (Unai) Prof Tuti Budirahayu mengatakan, perlu ada kajian menyeluruh terkait urgensi penerapan kembali UN sebagai alat ukur pembelajaran. Menurutnya, kajian perlu dilakukan secara menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia dan mencakup tren hasil belajar siswa sejak dihapusnya UN.
Menurut Tuti, penerapan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) secara teori terbilang efektif dalam mengukur kompetensi siswa sepanjang proses pembelajaran.
"Sebaliknya, UN model lama sering kali membuat siswa merasa tertekan karena penilaian dilakukan di akhir masa pendidikan," kata Tuti, Selasa (7/1/2025).
Tuti menilai, penerapan UN model lama tidak lagi efektif dan relevan sebagai alat evaluasi pendidikan nasional. Menurutnya, pendekatan tersebut lebih banyak memberikan dampak negatif.
Bahkan menurutnya, UN model lama merupakan bentuk kekerasan simbolik dan regimentasi yang memengaruhi siswa, guru, hingga sekolah.
"Nilai ujian akhirnya bias dan subyektif. Parameter keberhasilan pendidikan adalah dengan nilai rata-rata UN yang tinggi," ujarnya.
Secara tegas Tuti menyatakan tak setuju apabila UN model lama kembali diterapkan. Menurutnya, hal tersebut malah menjadikan peserta didik sebagai individu yang hanya menuruti standar tertentu, sehingga tidak tergali potensinya.
Menurutnya, kondisi tersebut juga membuat banyak peserta didik mengandalkan bimbingan belajar untuk menguasai soal ujian secara instan daripada mendalami proses berpikir kritis.
"UN model lama bahkan hampir menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah," ucapnya.
Terkait penerapan model baru UN, Tuti juga menyoroti tantangan besar terkait kurangnya pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Artinya, kata dia, UN harus diterapkan berbeda sesuai kemampuan sekolah.
"Jika UN akan diadakan kembali, maka jangan lagi menggunakan cara-cara lama, dan selenggarakan UN sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada di masing-masing sekolah," kata dia.
Tuti mengharapkan adanya kesiapan pemerintah, sekolah, guru, siswa, hingga orang tua. Pasalnya, perubahan kebijakan pendidikan setiap pergantian menteri kerap masih menjadi hambatan dalam membangun sistem yang kokoh.
"Kelemahan kebijakan pendidikan di Indonesia tidak ada blueprint yang cukup baik dan berdurasi lama. Padahal secara historis, Indonesia memiliki pengalaman mengelola pendidikan yang sudah cukup baik," ujarnya.
Tuti juga mengingatkan, parameter keberhasilan belajar siswa bisa terukur dari berbagai dimensi, tidak hanya dari skor ujian formal saja.
"Perkuat habitus belajar siswa melalui berbagai program-program literasi dan belajar di kelas yang dikembangkan oleh guru, sehingga siswa enjoy, tanpa tekanan atau paksaan," ucapnya.