Home > Umum

Perwira Angkatan Laut Asia-Pasifik Berdialog Tentang Peperangan Laut

Simposium ini mempertemukan 36 peserta dari 22 negara
Pembukaan simposium Peperangan Laut untuk Kawasan Asia Pasifik
Pembukaan simposium Peperangan Laut untuk Kawasan Asia Pasifik

SEKITARSURABAYA.COM, SURABAYA -- Perwira senior angkatan laut dari kawasan Asia-Pasifik berdialog terkait peperangan laut dalam kegiatan Asia Pacific Naval Warfare Symposium (Simposium Peperangan Laut untuk Kawasan Asia Pasifik) yang diselenggarakan TNI AL dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).


Kegiatan yang dipusatkan di Surabaya pada 11-13 Desember 2024 itu bertujuan membangun dan memperkuat kapasitas angkatan laut di kawasan tersebut dalam menerapkan hukum humaniter internasional pada konflik bersenjata di laut.


Simposium ini mempertemukan 36 peserta dari 22 negara dan diisi dengan presentasi, studi kasus, serta aktivitas kelompok yang dirancang untuk membahas kompleksitas peperangan laut. Tema-tema penting yang diangkat antara lain penerapan hukum humaniter internasional (HHI) atau hukum konflik bersenjata dalam peperangan laut, perbedaan antara operasi penegakan hukum maritim dan konflik bersenjata, serta implikasi kemanusiaan dari operasi laut.


Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muhammad Ali menegaskan pentingnya kegiatan yang digelar, mengingat kawasan Asia-Pasifik menjadi pusat daya tarik dunia maritim. Ia pun berharap simposium ink akan memberikan kerangka kerja tentang bagaimana melaksanakan operasi, bekerja sama, dan menjaga stabilitas regional bahkan di saat terjadi ketegangan.


"TNI Angkatan Laut Indonesia menyadari bahwa keamanan maritim kita secara inheren terkait dengan keamanan regional. Tidak ada negara yang dapat memastikan keamanan maritim sendirian. Ini membutuhkan kemitraan, pemahaman, kolaborasi, dan komitmen bersama terhadap hukum dan norma internasional," kata dia, Rabu (11/12/2024).


Ia menekankan, sebagai personel Angkatan Laut, jajarannya mewakili garis terdepan keamanan dan pertahanan maritim. Ia meyakini peserta yang hadir memiliki pemahaman yang sama bahwa Angkatan Laut yang profesional harus beroperasi dengan presisi, tanggung jawab, dan kesadaran penuh terhadap kerangka hukum.


"Pembelajaran yang dipetik dari rekan-rekan kita yang akan berlangsung selama kegiatan ini sangat berharga. Pengalaman dan keahlian kolektif akan memperkaya diskusi kita dan memperkuat komunitas maritim regional kita," ujarnya.


Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, semua negara harus mengakui bahwa kemampuan militer tidak hanya ditujukan untuk membela kepentingan nasional tetapi juga untuk menegakkan dan menghormati hukum internasional. Terutama dalam situasi yang melibatkan konflik bersenjata di laut.


"Pengembangan kekuatan Angkatan Laut didukung oleh semangat untuk mempromosikan perdamaian, keamanan, dan stabilitas, dan bekerja sama untuk membangun peradaban yang lebih adil, sejahtera, dan harmonis," ucapnya.


Sjafrie melanjutkan, dalam upaya mencapai harmoni global, Indonesia berkomitmen untuk memperdalam dialog inklusif dan kolaborasi konkret, menegakkan hukum internasional, dan menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, sebagaimana tertuang dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.


Indonesia juga diakuinya terus mendorong agar semua pihak memastikan bahwa apabila operasi militer di laut diperlukan, termasuk selama konflik, mereka harus menghormati hukum internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip kemanusiaan, dan perjanjian seperti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), Konvensi Jenewa, Manual San Remo, dan prinsip netralitas dalam peperangan laut.


Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste, Vincent Ochilet menambahkan, simposium yang digelar memberi ruang bagi para perwira Angkatan Laut untuk mengidentifikasi langkah-langkah praktis yang akan mengurangi risiko kemanusiaan dalam operasi laut sekaligus meningkatkan pemahaman peserta tentang hukum internasional.


"Dengan memupuk kesadaran dan kolaborasi, kami bermaksud memberi motivasi kepada para peserta untuk lebih mengintegrasikan hukum humaniter internasional ke dalam praktik operasional mereka, memastikan bahwa keamanan maritim dan masalah kemanusiaan ditangani secara bersamaan," kata Vincent.


Simposium ini juga menjadi wadah untuk meningkatkan dialog antara ICRC dan Angkatan Laut di kawasan Asia-Pasifik. Peserta diharapkan terlibat dalam diskusi yang bermakna, mengembangkan wawasan yang nantinya dapat ditindaklanjuti, dan mendorong dialog bilateral terkait isu-isu maritim.


Adapun 36 perwira senior angkatan laut yang ikut serta dalam kegiatan ini berasal dari Amerika Serikat, Australia, Bangladesh, Fiji, Filipina, India, Indonesia, Jepang, Kamboja, Kanada, Maladewa, Malaysia, Pakistan, Papua Nugini (PNG), Republik Korea, Selandia Baru, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Timor-Leste, Tiongkok, dan Vietnam.

× Image