Tradisi Muludan, Pakar: Warisan Walisongo yang Tetap Lestari di Tengah Modernisasi

SEKITARSURABAYA.COM, SURABAYA -- Tradisi muludan atau peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW setiap 12 Rabiul Awwal masih terjaga hingga kini, meski masyarakat semakin akrab dengan arus modernisasi.
Pakar sastra dan budaya Islam Universitas Airlangga (Unair), Ahmad Syauqi menyebut tradisi ini merupakan hasil akulturasi antara ajaran Islam dan budaya lokal sejak era Walisongo.
“Tradisi muludan berkembang sejak masa Walisongo di Nusantara. Meski berbeda-beda di setiap daerah, pada dasarnya merupakan wujud syukur atas kelahiran Rasulullah SAW,” ujar Syauqi, Senin (8/9/2025).
Syauqi menjelaskan, tradisi muludan memiliki makna religius sebagai perwujudan keimanan dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tradisi tersebut juga disebutnya memiliki nilai filosofis berupa solidaritas sosial, gotong royong, dan media dakwah melalui simbol-simbol budaya. Beberapa bentuknya antara lain endog-endogan di Banyuwangi dan Kirab Ampyang di Kudus.
Selain itu, menurutnya, tradisi ini juga sarat dengan nilai pendidikan karakter yang meneladani sifat Rasulullah, seperti jujur, dermawan, menepati janji, dan humanis.
Meski menghadapi arus modernisasi, tradisi muludan tetap eksis berkat dukungan teknologi. Media sosial dinilai berperan besar dalam melestarikan peringatan ini melalui siaran langsung, rekaman video, hingga penyebaran informasi secara cepat.
“Sekarang banyak yang mengemas muludan lebih sederhana. Tidak semua harus menggunakan simbol-simbol kaku. Intinya masyarakat bisa berkumpul dan memeriahkan,” kata Syauqi.
Ia menegaskan, keberlanjutan tradisi muludan perlu ditopang oleh pendidikan dan komunitas.
“Tradisi maulid adalah wasilah untuk menumbuhkan cinta kepada Rasulullah dan menguatkan iman terhadap ajaran Islam,” ucapnya.